Kisah Pelajar Indonesia Korban Bom Atom Hiroshima Nagasaki
Foto taman perdamaian yang jadi tempat mengenang dijatuhkannya bom atom
di Hiroshima pada 1945 itu dipajang di rumah Syarif Adil Sagala di
bilangan Kalibata, Jakarta Selatan. Gambar itu adalah kenangan akan
Sagala yang ketika serangan bom atom tengah belajar di Jepang.
Ada
dua gelombang keberangkatan pelajar-pelajar Indonesia ke Negeri
Matahari Terbit itu. Sebelum 1943, para mahasiswa itu memilih ke Jepang
karena orangtua mereka tak sanggup membiayai pendidikan tinggi di
Belanda.
Lalu pada 1943 pemerintah militer Jepang di Indonesia
membuat program khusus mengirimkan pemuda Indonesia belajar di
negaranya. Kisah para pelajar itu dan derita mereka saat bom atom
dijatuhkan diceritakan kembali oleh para alumni dalam buku Suka Duka
Pelajar Indonesia di Jepang Sekitar Perang Pasifik 1942-1945.
Berikut ini nukilannya:
Pria
Jepang mabuk itu menyepak pemuda-pemuda di depannya yang tak berdiri
tegak. Setiap hari makian dari mulut berbau minuman keras itu jadi
santapan malam 23 pemuda yang diasramakan di Cikini, Jakarta.
Mereka
adalah peserta program Nampo Tokubetsu Ryugakusei (Mahasiswa Luar Biasa
dari Daerah Selatan). Program ini diberikan kepada pemuda negara di
Asia Tenggara yang diduduki Jepang, termasuk juga dari Indonesia,
Malaysia, dan Burma.
Program dari Kementerian Asia Timur Raya dan Kementerian Pendidikan Kekaisaran Jepang itu banyak peminatnya.
Ratusan
pemuda mengikuti seleksinya di seantero Jawa sebelum akhirnya
mengerucut jadi 75 orang yang ikut tes lanjutan di Jakarta. Ujian
saringan itu diadakan di gedung yang sekarang menjadi markas polisi
militer plus Rumah Tahanan Guntur tempat KPK menahan para tersangka
korupsi di Pasar Rumput, Jakarta Selatan.
Sebenarnya cuma ada 20
orang yang akan berangkat ke Jepang tapi yang diloloskan 23 orang. “Ini
jelas taktik untuk memaksakan kami terus bersaing selama latihan,” kata
Sukristo Sastrowarsito yang lulus ujian.
Sukristo bercerita,
setiap hari mereka bangun pukul enam pagi dan harus membersihkan asrama
selama sejam. Setelahnya giliran pelatih tukang mabuk bernama Nakamura
itu yang memandu senam pagi.
Setelah dua bulan di asrama,
akhirnya rombongan pelajar itu berangkat. Termasuk di antara mereka yang
berangkat pada Juni 1943 itu adalah Yoga Soegomo yang nantinya akan
jadi Kepala BAKIN sekaligus orang kepercayaan Presiden Suharto.
Mereka
bertolak dari Tanjung Priok ke Singapura tempat kapal Awa Maru yang
akan membawa mereka ke Moji berada. Di sana mereka bertemu pemuda-pemuda
asal Sumatera yang oleh militer Jepang dijadikan satu komando dengan
basis mereka di Singapura.
Mereka yang akan digembleng jadi guru
dikirim ke jurusan sastra dan sains yang ada di Tokyo dan Hiroshima.
Sukristo dikirim ke Bunridai di Hiroshima.
Meski belakangan
menyadari bahwa status mereka adalah pelajar dari tanah jajahan,
Sukristo mengingat orang-orang di Hisroshima menyambut dengan hangat.
“Mereka menyajikan makanan meskipun sangat sederhana dari jatah ransum
mereka,” ujarnya.
Di kota pusat pendidikan, perhubungan, dan
industri itu rumah-rumah hanya berisi perempuan dan anak-anak kecil.
Para pria dewasa berangkat wajib militer, sedangkan para remajanya
dipekerjakan di pabrik.
Pada April 1945, Tokyo mulai sering dibom
pasukan Amerika Serikat. Maka mahasiswa kampus sastra dan sains pun
dipindah ke Hiroshima. Termasuk dari mereka adalah Arifin Bey.
Arifin
bercerita setiap pukul delapan pagi di Hiroshima selalu terdengar
raungan sirene bahaya serangan udara. Awalnya semua orang selalu masuk
bunker, tapi karena tak pernah terjadi apa-apa, lama-kelamaan sirene itu
diacuhkan.
Mereka juga mengacuhkan juga sirene pada pagi 6
Agustus 1945. Hari itu setelah raungan sirene usai, profesor fisika
memasuki ruang kuliah Arifin.
Ia baru saja akan menuju ke papan
tulis ketika mendadak dari arah jendela cahaya menyilaukan seperti kilat
menyeruak masuk ke ruang kuliah. Arifin tak mengingat ada suara apapun
yang mengikuti sinar itu, tapi mendadak gedung kuliah berbahan kayu itu
runtuh dan mendadak semua gelap.
“Saya tidak tahu berapa lama
tidak sadar,” kata Arifin. “Ketika sadar lagi pagi telah berubah
seakan-akan senja telah runtuh dari langit, di mana-mana ada kabut hitam
tipis.”
Arifin terheran-heran. Apa iya ada ledakan serentak di seluruh kota? Ataukah gempa bumi mahadahsyat baru saja terjadi.
Setelah
bom atom dijatuhkan oleh pasukan Amerika Serikat, yang terpikir oleh
Arifin hanyalah teman-temannya sesama mahasiswa asal Asia Tenggara yang
ada di asrama. Mereka tak kuliah karena hari itu libur.
Sepuluh
menit berlari ke asrama Ushita itu terasa panjang karena harus menembus
gedung-gedung yang rata dengan tanah. Orang berlarian tak tentu arah
dengan baju compang-camping dan badan berlumuran darah.
Beberapa
ia lihat seperti memakai sarung tangan karet milik dokter. Ketika
dilihat dari dekat ternyata kulit tangan mereka sendiri yang terlepas.
Cahaya apapun itu, kata Arifin, telah menguliti bagian tubuh yang tak
tertutup baju.
Sepuluh menit dari kampus, mereka tiba di asrama
dan berteriak-teriak memanggil kawan mereka. Hanya Sagala dari Medan
yang menyahut. “Tolong, saya di sini! Saya terjepit!”
Asrama dua
lantai di tepi sungai tempat Syarif Adil Sagala tinggal itu luluh
lantak. Padahal tak lama sebelumnya dia masih melongok ke luar jendela
melihat pesawat besar terbang rendah di langit Hiroshima.
Berkas
asap putih memanjang yang ditinggalkan pesawat itu membuat penduduk
kota terpesona. “Indahnya!” begitu kata sebagian yang melihatnya.
Tak
dinyana pesawat itu menjatuhkan bom yang oleh Sagala hanya diingat
sebagai cahaya terang. Sagala buru-buru menutup jendela. Ia mendengar
gemuruh dan udara mendadak panas luar biasa. Setelahnya ia tak sadarkan
diri.
Begitu terjaga, badannya terhimpit puing-puing bangunan
asrama. Pengap dan sulit bernafas. “Oh begini rasanya kalau orang akan
mati,” pikir Sagala. Tapi dia bertahan sekuat tenaga karena teringat
ibunya di kampung halaman.
Sagala terbilang beruntung karena dia
terjatuh ke kolong bangunan ketika asramanya roboh. Ia berteriak minta
tolong, beruntung datang Arifin Bey dan Hasan Rahaya yang menariknya
dari reruntuhan.
Setelah Sagala diselamatkan, mereka menolong
semua orang sekenanya dengan membawa korban ke sungai di dekat asrama
karena api mulai menjalar. Seingat Arifin, kobaran akibat bom itu terus
menyala hingga lewat tengah malam. Mereka kehausan tapi orang-orang
meneriakkan jangan minum air karena berbahaya.
Esoknya mereka
semua berangkat ke Kyoto untuk diperiksa kesehatannya. Setibanya di
sana, Sagala mendadak sakit. Dokter yang merawatnya mengatakan kecil
kemungkinan dia akan bertahan hidup.
Mahasiswa asal Indonesia
lainnya, Sam Suhaedi, mengatakan dua perempuan yang sempat ditolong
Arifin dan Hassan awalnya sehat seperti Sagala tapi belakangan
meninggal. “Mereka terkena radiasi bom atom,” kata Sam.
Menurut
Sukristo, hanya dua mahasiswa Indonesia yang menunjukkan gejala terpapar
radiasi bom atom: Sagala dan Arifin. Keduanya lolos dari maut dan
pulang ke tanah air.
Tapi Sagala dua kali lolos dari maut. Ia
pulang ke tanah air dan terakhir menetap di Jakarta. Hidup untuk melihat
anak-anaknya besar menjadi dokter dan insinyur.
Hasan Rahaya yang menolongnya juga selamat dan pulang ke Indonesia. Ia sempat jadi anggota MPR/DPR dan Dewan Pertimbangan Agung.