Tujuh Jam Diperiksa KPK, Ini Penjelasan Ketua MPR
Dia diperiksa sebagai mantan Menteri Kehutanan
Jakarta (kabarsuramadu.com) - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Zulkifli Hasan mengatakan pengajuan revisi tentang Perubahan Kawasan
Hutan dari Gubernur Riau Annas Maamun belum memenuhi syarat.
"Tidak
ada surat itu saran pertimbangan, tetapi pihak terkait tidak
menyampaikan pertimbangan. Itu biasanya persyaratanya tidak dapat
dipenuhi alias biasanya itu tidak dapat diterima," kata Zulkifli, di
Gedung KPK, Rabu 12 November 2014.
Zulkifli menjalani pemeriksaan
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi terkait dugaan suap
pengajuan revisi alih fungsi hutan Riau tahun 2014 kepada Kementerian
Kehutanan. Dia diperiksa hampir selama 7 jam dan selesai menjalani
pemeriksaan pada pukul 17.46 WIB.
Mantan Menteri Kehutanan itu
mengaku ditanya mengenai pengajuan usulan mengenai revisi hutan itu oleh
Gubernur Riau non-aktif, Annas Maamun. Zulkifli menyebut pengajuan
usulan itu merupakan kewenangan dari Annas.
"Di situ memang
ditanyakan soal usulan perubahan terhadap perbaikan itu oleh Gubernur,
itu juga benar. Karena kewenangan Gubernur mengusulkan perubahan itu
memang boleh. Yang nggak boleh itu kan yang lain-lain itu," ujarnya.
Zulkifli
mengaku telah menjelaskan kepada penyidik terkait tugas Kementerian
Kehutanan hingga tugas eselon-eselon terkait. "Tetapi pada prinsipnya
bahwa tata ruang yang kita selesaikan di Riau itu merupakan prestasi
bagi kami. Bahwa ada soal-soal lain, ya sedikit agak mencederai,"
katanya.
Sebelumnya, Gubernur Riau non-aktif, Annas Maamun
mengaku bahwa ia pernah mengajukan rekomendasi terkait revisi SK 673
tentang Perubahan Kawasan Hutan ke pihak Kementerian Kehutanan.
Bahkan,
Annas yang merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait pengajuan
revisi alih fungsi hutan Riau tahun 2014 itu menyebut bahwa rekomendasi
yang diajukannya telah sampai ke tangan Menteri Kehutanan pada saat itu,
Zulkifli Hasan.
Inisiatif Siapa?
Sementara
itu Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, Bambang
Soepijanto mengungkapkan bahwa izin rekomendasi alih fungsi lahan hutan
diajukan oleh Gubernur non-aktif Riau Annas Maamun belum ditindaklanjuti
oleh pihaknya. Lantaran, izin tersebut dinilai masih ada belum
dilengkapi.
"Belum ada approval (persetujuan) apapun," kata Bambang usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Selasa 11 November 2014.
Dia
mengungkapkan, beberapa persyaratan yang belum dipenuhi dalam pengajuan
itu antara lain rekomendasi lokasi yang dimohon, rekomendasi calon
pengganti, rekomendasi gubernur untuk permohonan kawasan hutan.
"Itu
belum, kan harusnya ada syarat lokasi pengganti dan lokasi yang
dimohon, ada syarat rekomendasi gubernur, baru dibawa ke kementerian,
begitu seharusnya," ujarnya.
Diketahui, KPK menangkap Annas
Maamun dan sejumlah orang dalam sebuah operasi tangkap tangan di kawasan
Cibubur, Jakarta Timur. KPK kemudian menetapkan Annas Maamun, Ketua
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia atau Apkasindo Provinsi Riau,
Gulat Manurung sebagai tersangka dalam dugaan suap terkait suap alih
fungsi lahan hutan.
Gulat disebut mempunyai kebun kelapa sawit
seluas 140 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Lahan kelapa
sawit milik Gulat berada di kawasan yang tergolong hutan kawasan
industri dan ingin dimasukkan ke dalam area peruntukan lainnya.
KPK menduga bahwa Annas menerima suap total sebesar Rp2 miliar dari Gulat yang terdiri atas Rp500 juta dan Sin$156.000.
Pada
saat ditangkap, petugas KPK menemukan uang US$30.000. Namun, dalam
pemeriksaan, Gulat mengaku hanya memberikan suap kepada Annas dalam
bentuk rupiah dan dolar Singapura. Annas juga mengaku bahwa uang dalam
bentuk dolar Amerika adalah miliknya. Tetapi, itu masih didalami KPK.
Annas
disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Gulat Manurung, yang
berposisi sebagai pemberi suap, disangka Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b
atau Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi