Kepemimpinan Indonesia di Asia-Afrika Tetap Diakui Dunia
Bandung (kabarsuramadu.com) - Pekan ini, rangkaian peringatan 60 tahun
Konferensi Asia Afrika (KAA) dan 10 tahun Kemitraan Strategis Asia
Afrika (NAASP) berlangsung di Jakarta dan Bandung. Jika di tahun 1955
silam, sebanyak 29 negara berkumpul untuk menyuarakan perlawanan melawan
kolonialisme atau neokolonialisme negara imperialis, maka di tahun ini
negara peserta bisa kembali menyuarakan solidaritas kerjasama antar
negara di bagian selatan.
Indonesia sebagai penggagas dan tuan
rumah bertekad tak hanya membuat acara ini sebagai peringatan dan
mengenang apa yang terjadi 60 tahun lalu, tetapi berharap bisa menjadi
jembatan negara-negara di dua kawasan.
Sebanyak 34 kepala negara
dan delegasi dari 86 negara telah memastikan diri hadir di Jakarta dan
Bandung. Mereka hadir untuk kembali mengikat komitmen terhadap apa yang
tertulis di dalam prinsip Dasasila Bandung tahun 1955 silam.
Prinsip
tersebut masih dianggap sesuai dengan situasi saat ini. Namun, pada
faktanya justru banyak negara peserta KAA yang justru melanggar
prinsip-prinsip itu dalam membangun hubungan pergaulan internasional.
Sebagai contoh, Tiongkok yang kerap menjadi ancaman akan melakukan
agresi untuk memperluas wilayah melalui konflik sengketa Laut Tiongkok
Selatan dan Timur, perang sipil di Yaman yang justru diselesaikan bukan
dengan cara duduk di meja perundingan, melainkan mengangkat senjata.
Terkait
hal tersebut, Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi mengatakan
tidak ingin menunjuk atau menyalahkan pihak-pihak tertentu. Mantan Duta
Besar RI untuk Kerajaan Belanda itu, mengatakan justru melalui KAA,
Indonesia ingin kembali menyebarkan prinsip penyelesaian berbagai
konflik dengan cara damai.
"Yang coba kami sebarkan adalah
semangatnya, yakni cara yang damai dalam mendekati atau menyelesaikan
isu-isu yang ada. Oleh sebab itu, prinsip Dasasila Bandung masih
dianggap relevan hingga saat ini," ujar Retno.
Retno menambahkan,
melalui momen KAA ini, Indonesia ingin merangkul semua pihak untuk
tumbuh dan berbagi. Indonesia, ujar Retno ingin mengedepankan konsep
solidaritas, kebersamaan dan berkembang bersama, agar tidak ada lagi
ketimpangan yang jelas di antara dua kawasan. Semua itu mulai
direalisasikan dengan mengusulkan pertemuan yang lebih rutin dan tidak
hanya digelar sekali dalam satu dekade.
Ketika ditemui VIVA.co.id secara khusus di ruang tamu di kantornya di kawasan Pejambon, Jakarta
Pusat, Retno baru saja menyelesaikan pertemuan dengan beberapa pejabat
di Kemlu. Kendati wajahnya terlihat letih, tetapi, dia tetap semangat
merampungkan persiapan KAA termasuk tiga dokumen yang menjadi hasil
konferensi tersebut pada tanggal 24 April 2015 di Bandung.
Sambil
memegang beberapa dokumen hasil rapat, Retno berharap konferensi ini
dapat kembali merajut kedekatan dan membangun kontak antar warga negara
di dua benua yang terpisah. Lalu apa saja terobosan nyata yang dilakukan
oleh Indonesia dalam peringatan KAA kali ini agar tidak terkesan hanya
sekedar selebrasi? Dan seberapa besar dukungan negara di kawasan Asia
Afrika agar bisa mendorong percepatan kemerdekaan bagi Palestina,
mengingat hingga saat ini hanya mereka yang belum memperoleh kemerdekaan
penuh dan masih diokupasi negara lain.
Berikut wawancara khusus VIVA.co.id dengan Menlu Retno yang ditemui di sela jeda rapat persiapan KAA pada Rabu, 15 April 2015:
Apa
saja terobosan baru yang dibuat oleh Indonesia dan negara peserta dalam
peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) dan 10 tahun Kemitraan
Strategis Asia Afrika (NAASP)?
Ini menyangkut kepemimpinan Indonesia. Kita kalau tahun 1955 bisa
memerankan sebagai pemimpin, maka pada usia yang ke-60 setelah KAA,
Indonesia tetap memainkan peran itu sebagai pemimpin di kawasan Asia
Afrika.
Kalau kita berbicara mengenai terobosannya, saya kira
pertama, mungkin ini bisa dilihat sebagai terobosan, itu tergantung dari
bagaimana kita memandangnya.
Saya selalu terfokus atau melihat prinsip-prinsip Dasasila Bandung. Pertanyaannya sangat sederhana: "Apakah Dasasila Bandung masih relevan atau tidak?" Jawabannya masih. Karena saya telah melihat satu demi satu dari 10 prinsip dan nilai tersebut, semua yang ada di situ masih sesuai dengan situasi terkini.
(Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi ketika tengah memaparkan terobosan yang dilakukan Indonesia dalam peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika di ruang tamu di kantornya, di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Foto: Muhammad Solihin)
Menarik juga untuk dicermati bahwa butir pertama di dalam Dasasila
Bandung itu mengenai hak asasi manusia (HAM), kemudian di situ ada
semangat prinsip regionalisme, multilateralisme, rujukan terhadap piagam
PBB ada beberapa kali disebut, kemudian penghormatan terhadap
integritas teritorial, tindakan tidak ikut campur, dan sebagainya,
kesetaraan dan yang juga menarik adalah masalah kerja sama.
[note
isi Dasasila Bandung: 1. Menghormati hak-hak asasi manusia beserta
tujuannya serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB (Atlantic
Charter). 2. Menghormati kedaulatan wilayah semua negara. 3. Mengakui
persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa besar atau kecil.
4.
Tidak melakukan campur tangan dalam urusan-urusan dalam negeri negara
lain. 5. Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan diri. 6. a.
Tidak mempergunakan peraturan-peraturan pertahanan kolektif untuk
kepentingan khusus salah satu negara besar.
6. b. Tidak melakukan
tekanan terhadap negara lain. 7. Tidak melakukan tindakan atau ancaman
agresi atau penggunaan kekerasan terhadap keutuhan wilayah atau
kemerdekaan politik negara manapun. 8. Menyelesaikan segala perselisihan
internasional secara damai, seperti dengan perundingan, persetujuan,
arbitrase atau penyelesaian hukum, atau dengan cara damai lainnya
menurut pihak-pihak yang bersangkuran, sesuai dengan Piagam PBB. 9.
Mengajukan kepentingan bersama dan kerjasama secara timbal balik. 10.
Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.]
Nah,
sekarang kita melihat atau bertanya kepada kita sendiri, apakah
kerjasama ini sudah optimal atau belum, jawaban saya adalah belum. Jadi
bagaimana caranya meningkatkan kerjasama? Ya salah satunya adalah dengan
menyelenggarakan perhelatan ini.
Jadi sekali lagi, berangkat dari sejarah iya, tetapi ini bukan hanya pesta komemorasi, we go beyond that,
kita coba dekatkan Asia Afrika, kita kirimkan kembali pesan-pesan yang
masih sangat relevan. Pada saat yang sama, kami tunjukkan kepemimpinan
di kawasan Asia Afrika, karena apa?
Pertanyaan saya begini:
"kita mau tidak kepemimpinan Asia Afrika itu diambil orang lain?" Jika
kita membicarakan Asia Afrika, maka yang ada di benak orang yaitu
Bandung dan Indonesia.
Kalau kita tidak berusaha untuk melakukan
sesuatu dan mengemasnya sesuai dengan konteks kekinian, kepemimpinan
itu akan lepas. Jadi, if we do nothing, then we get nothing. Kan pertanyaannya selalu, mana nih konkritnya? Ada hal yang bisa dibuat menjadi sesuatu yang nyata dan ada juga yang tidak.
Kepemimpinan
termasuk salah satu hal yang tidak sama seperti angka sesuatu yang
nyata. Tapi, kepemimpinan itu merupakan satu investasi jangka panjang
yang tinggi dan kadang-kadang di satu titik, kita harus berinvestasi dan
titik lainnya, kita dapat sesuatu yang nyata.
Tidak ada cash and carry. Sekarang ini, Indonesia masih
terus berinvestasi dan kepemimpinan sekali lagi bisa dinominalkan,
tetapi tidak ada satu pun yang bisa meragukan betapa pentingnya
kepemimpinan Indonesia di kawasan dan di dunia.
Jadi, kalau kita berbicara kalau Indonesia adalah negara yang besar, maka kita harus bertindak seperti negara yang besar.
Apakah dalam KAA kali ini bisa dijadikan momentum untuk menyelesaikan konflik di antara negara peserta KAA, seperti misalnya konflik Yaman dan Laut Tiongkok Selatan?
itu kan ada di dalam prinsip Dasasila Bandung. Saya ingat mengenai penggunaan cara yang damai untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia. [Note: ada di poin ke delapan Dasasila Bandung]
(Menlu Retno L.P Marsudi ketika bertemu dengan Menlu Tiongkok, Wang Yi di Gedung Kemlu, Pejambon pada November 2014. Foto: ANTARA)
Jadi, kami juga mendorong semua negara [menggunakan cara damai.red].
Kita tidak mau menyalahkan orang lain. Tetapi, yang coba kita sebarkan
adalah semangatnya, yakni cara yang damai dalam mendekati atau
menyelesaikan isu-isu yang ada.
Saya ingin kembali ke situasi
Indonesia dulu. Saya juga baru saja bertemu dengan Profesor Amitav
Acharya dari Universitas Amerika di Washington D.C. Saya berbagi
pendapat Beliau karena menarik sekali. Saya baca bukunya dan saya
amini. Di dalam buku itu tertulis: "Yang menjadikan Indonesia besar dan
diakui sebagai emerging country, bukan karena Indonesia
memiliki kekuatan militer yang sangat besar, bukan karena ekonomi yang
luar biasa, karena negara lain mereka menjadi besar, karena entah dia
memiliki kekuatan militer yang besar atau mereka memiliki kekuatan
ekonomi yang sangat besar sehingga dia bisa melakukan banyak hal.
Indonesia
menjadi besar sejajar dengan negara besar lainnya, karena kita mampu
mengkombinasikan antara demokrasi, stabilitas, dan pembangunan.
Kebesaran Indonesia, tanpa menjadi ancaman bagi negara lainnya.
Jadi,
semua negara akan merasa nyaman dengan Indonesia. Kami tidak mengancam
negara lain. Kalau Indonesia yang bergerak, maka semua orang akan merasa
nyaman. Justru, di situ kelebihan Indonesia. Kita ingin memaksimalkan
kelebihan kekhasan Indonesia untuk sekali lagi menyebarkan suara
perdamaian, kerjasama, berkembang bersama, dan sebagainya. Jika dilihat
dari penduduk di kawasan Asia dan Afrika, saya kira itu mencakup 70
persen penduduk dunia.
Kalau dilihat dari aspek pendapatan per
kapita (GDP), kontribusinya kurang lebih sekitar 50 persen. Tetapi kita
kan di situ masih terlihat ketidaksetaraannya dan ketidakseimbangan.
Semua fakta yang masih ada ini berusaha untuk dirangkum oleh Indonesia,
ini adalah platform, bagi negara di kawasan Asia Afrika untuk bertemu,
membahas kerjasama yang bisa dilakukan dan Indonesia berusaha sekaligus
untuk mengusulkan bagaimana mekanisme selanjutnya, karena pertemuan 10
tahun sekali kan sangat tidak cukup. Oleh karena itu, Indonesia
mengusulkan pertemuan dua tahunan antara para Menteri Asia dan Afrika di
New York pada saat para Menteri tersebut tengah menghadiri Sidang
Majelis Umum PBB.
Di sisi bisnis, kami mengusulkan agar dibentuk
Dewan Bisnis Asia Afrika yang akan melakukan pertemun setahun sekali.
Ini, strategi untuk mendekatkan komunitas bisnis. Jadi, Indonesia hanya
menyedikan platformnya untuk kawasan Asia dan Afrika, termasuk platform
untuk pebisnis.
Secara khusus di sela KAA akan ada Pertemuan
Tingkat Tinggi Bisnis Asia dan Afrika (AABS) dan di saat yang sama akan
dilangsungkan Forum Ekonomi Dunia (WEF) Asia Timur yang digelar di Hotel
Shangri La. Untuk pertemuan AABS yang telah memastikan diri sudah lebih
dari 500 orang pengusaha, sementara WEF tercatat lebih dari 200 orang.
Untuk WEF biasanya CEO yang hadir tingkatnya sudah besar dan skala
dunia.
Dari kehadiran mereka saja sudah memberikan gambaran,
mengapa mereka bersedia datang ke Jakarta, mengapa banyak yang mau
datang kemari? Hal itu karena mereka memiliki kepercayaan yang tinggi
terhadap Indonesia. Di situ sebenarnya Indonesia juga sudah bisa
memanfaatkan potensi, sudah ada rasa kepercayaan dari pasar, kita
optimalkan semuanya.
Apakah di dalam KAA nantinya juga akan dimanfaatkan untuk menyuarakan target ambisius Indonesia sebagai poros maritim dunia?
Kerjasama maritim, kerjasama konektivitas, merupakan salah satu kerjasama yang akan disuarakan di dalam konteks kerjasama Asia Afrika juga, sebab kalau bicara Asia Afrika ada samudera di tengah-tengahnya. Oleh sebab itu, kami juga akan menyuarakan kerjasama dalam konteks maritim ini.
Apakah nantinya akan ada kesepakatan kerjasama di bidang ekonomi yang akan diteken di sela KAA ini, mengingat di sela acara ada Pertemuan Tingkat Tinggi Pengusaha Asia Afrika?
itu teman-teman dari para pengusaha ya. Mereka yang akan mengurus itu sekaligus sekali lagi saya menyampaikan bahwa tugas dari pemerintah adalah membukakan jalan, untuk menyediakan platform bagi mereka untuk menjadi lebih dekat dan sebagainya. Jadi, saya kira pasti akan ada hasil dari engagement dari para pengusaha ini baik yang berada di AABS baik di Forum Ekonomi Dunia (WEF), karena saya yakin mereka datang kemari tanpa ingin pulang dengan tangan hampa.
Apakah ada target khusus mengenai kerjasama ekonomi saat penyelenggaraan KAA?
Terkait dengan kerjasama ekonomi, saya akan sampaikan tren. Ini juga yang menyebabkan Indonesia optimistis membangun kerjasama dengan Afrika. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, trend kenaikan perdagangan dengan Afrika, rata-rata kenaikannya adalah 25,31 persen, sementara dengan negara-negara Timur Tengah, kenaikan adalah 17,34 persen. Itu dari aspek perdagangannya.
Kemudian dari aspek investasinya, rata-rata kenaikan per tahun
sampai 164,47 persen itu untuk Afrika, sedangkan untuk kawasan Timur
Tengah 213,18 persen. Belum lagi dari aspek pariwisatanya yang rata-rata
naik 12-16 persen.
Dari trend itu kita bisa mengambil satu pola
yang bisa dipake untuk meningkatkan baik perdagangan, investasi maupun
pariwisata. Namun, sekali lagi, ada beberapa negara yang kita tidak bisa
sekedar mempertukarkan dengan angka.
Misalnya ada beberapa
negara kecil di Afrika yang tidak berbicara mengenai angka. Justru
sebagai negara besar, ada saatnya semua negara memikirkan mengenai
kepentingan nasionalnya. Itu wajib, demikian juga semua gerakan politik
luar negeri Indonesia, bercermin kepada kepentingan nasional. Tetapi di
waktu yang bersamaan ada peran yang dilakukan Indonesia sebagai anggota
bangsa dunia.
Sekali lagi jika kita adalah negara besar, maka
kita akan berkontribusi lebih besar dibandingkan yang lain, dalam
konteks misalnya ada negara yang lebih kecil yang memerlukan, kita
lakukan kerjasama bantuan pembangunan kapasitas, dalam konteks itulah
kerjasama selatan-selatan menjadi sangat mengemuka. Plus saya sampaikan
kerjasama triangular dengan beberapa pihak seperti Swedia, Brunei
Darussalam, UNDP, dan Norwegia. Jadi, mesinnya kita gerakkan, kita lihat
kemampuan kita seberapa besar, jika kemampuan kita tidak terlalu banyak
kita gandeng yang lain. Sekali lagi angka penting, tetapi tidak
semuanya bisa diangkakan. Tetapi, pasti tidak akan sia-sia.
Apakah
dengan adanya kenaikan trend dalam kerjasama ekonomi berarti menandakan
telah ada perbaikan opini publik terhadap Benua Afrika? Karena selama
ini masih ada ketimpangan yang sangat jauh di antara dua kawasan.
maka kita mencanangkan, salah satu tagnya itu growing together. Jadi, memang kalau dilihat Asia itu mesin pertumbuhan. Kemajuan ekonomi yang paling pesat itu terjadi di Benua Asia.
Tetapi,
jangan lupa, Afrika itu merupakan benua harapan. Jika dikombinasikan
bersama, maka hal itu akan baik. Saya coba lihat, ada tujuh negara yang
merupakan negara anggota G20 di kawasan Asia. Kalau dikombinasikan
dengan negara berkembang lainnya, maka jumlahnya akan lebih banyak lagi.
Balik lagi ke Asia, kalau dilihat secara keseluruhan, ada
beberapa titik negara-negara di Asia termasuk Indonesia yang mengalami
kemajuan pembangunan ekonomi yang sangat bagus dalam tujuh atau delapan
tahun, karena rata-rata tumbuh di atas lima persen. Oleh sebab itu,
Indonesia ingin mengajak bagaimana stabilitas, demokrasi dan pembangunan
dikombinasikan sehingga bisa menjadi pendorong untuk memperoleh
pengakuan dari dunia.
Jadi, kenapa Asia Afrika tidak mengkombinasikan ketiga nilai tadi? Jika diterapkan, maka hal Asia Afrika bisa dianggap penting.
Salah satu dari tiga dokumen yang akan dihasilkan dari KAA adalah deklarasi terhadap perjuangan Rakyat Palestina. Seberapa signifikan deklarasi ini, sehingga dapat mendorong percepatan Palestina meraih kemerdekaan?
KAA itu kan muncul karena adanya keberanian dari negara-negara untuk berdiri sejajar dengan negara lain untuk bisa meraih kemerdekaan. Pada saat kita memperingati 60 tahun KAA, kita masih melihat satu negara belum merdeka.
(Perdana Menteri Palestina, Rami Ramdallah (kiri) ketika tiba di Gedung Kemlu bersama Presiden SBY untuk mengikuti pembukaan Konferensi ke II Kerjasama di antara Negara Asia Timur untuk Pembangunan Palestina pada Maret 2014. Foto: ANTARA)
Dari pihak Indonesia, secara bilateral sudah banyak sekali hal yang
kita lakukan, tetapi kita juga ingin melakukannya sekolektif dan
sebanyak mungkin. Berjamaah. Saya kira forum KAA ini merupakan salah
satu forum yang tepat untuk kembali menyuarakan mengenai pentingnya
dukungan kemerdekaan Palestina.
Memang tidak secara langsung
usai deklarasi perjuangan tersebut lalu Palestina merdeka. Tapi misalnya
seperti Swedia, mereka termasuk salah satu negara Eropa yang mengakui
kemerdekaan Palestina.
Indonesia langsung mendekati Swedia.
Kebetulan Swedia merupakan salah satu dari 17 negara yang diundang
sebagai peninjau dan sekaligus diajak untuk melakukan kerjasama
Triangular, tripartite dengan Indonesia untuk membantu Palestina. Itu
langsung kita realisasikan.
Upaya-upaya yang konkrit ini yang
disebut kepemimpinan. Kalau kita ditanya untuk triangular, Indonesia
akan memperoleh keuntungan apa? Ya, tentu saja hasilnya tidak akan
langsung dirasakan.
Tapi, paling tidak keahlian kita terpakai
melalui kerjasama ini. Kita gunakan untuk membantu Palestina dan juga
keuntungan politik. Jadi, ada investasi yang jangkanya pendek dan
panjang. Tetapi, saya jamin tidak ada yang sia-sia.
Bagaimana momentum KAA ini bisa dimanfaatkan oleh para pengusaha lokal untuk mempromosikan produk lokal, salah satunya mengenalkan batu akik?
Setiap tindakan Indonesia terhadap negara peserta itu ada unsur promosi produk lokal. Selain batu akik, ada hal-hal kecil yang merupakan satu kebiasaan internasional, ada barang-barang kecil yang disampaikan kepada negara peserta itu menunjukkan kualitas produk dari Indonesia. Yang tidak kalah penting yaitu kontak antar warga. Kedua kawasan sudah terikat sejak tahun 1955 silam.
(Batu akik panca warna asal Garut yang akan menjadi suvenir kepala negara peserta KAA)
Tetapi jika ingin jujur, apakah kita sudah dalam posisi yang dekat
sekali, oleh karena itu harus ada keinginan politik dari semua negara
Asia Afrika mengenai masalah kedekatan ini. Saya mengatakan bahwa
keinginan politik itu harus diterjemahkan bahwa Afrika harus ada di
radar politik luar negeri Asia, demikian juga Asia harus ada di radar
politik luar negeri Afrika.
Jadi harus dimulai dari keinginan
politik untuk menempatkan masing-masing kawasan di dalam radar politik
luar negeri pihak lainnya.
(ren)