Opini : Pembinaan Olah Raga Bangkalan
Prestasi Olahraga Jalan di Tempat
Pengkab KONI Harus Merubah Metodologi Sistem Pembinaan, Pembibitan dan Pelatihan Atlet
Oleh : Drs M Sjamsul Arief
KOMUNITAS insan olahraga di Kabupaten Bangkalan, utamanya Pengkab KONI setempat, harus jujur mengakui bahwa kualitas sistem pembinaan dan pemibitan atlet kelolaan 16 induk organisasi di bawah naungan KONI masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Parameter ukurannya gampang disimak dan kita analisis.
Diantaranya, akumulasi prestasi atlet Kabupaten Bangkalan diberbagai kegiatan olahraga multi event seperti Popda, O2SN dan Porprov di tingkat regional, serta pesta olahraga sekaliber Popnas, Pomnas, PON, Asean School Games dan Sea Games di tingkat nasional dan internasional, ternyata masih betah berjalan di tempat.
Artinya, prestasi olahraga Kabupaten Bangkalan, sejauh ini, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, ternyata sama sekali tidak mengalami peningkatan. Bahkan, dari sisi kualitas, torehan prestasi para atlet asal kabupaten di ujung Barat Pulau Madura itu, cenderung mengalami stagnasi yang cukup memprihatinkan. Sekali lagi, realita ini harus jujur dan tulus diakui semua pihak.
Mau bukti ? Coba saja simak torehan prestasi atlet Bangkalan pada decade tahun 2000-an, atau sekitar 15 tahun yang silam. Saat itu, dua pesilat andalan Kabupaten Bangkalan, Anisa Fitria yang berlaga katagori tanding kelas D (55-69 kg) putri, serta pesilat Bambang Priwahyudi yang turun di katagori tunggal putra, sukses meraih medali perak PON XV/2000 di Surabaya.
Setahun kemudian, dua pesilat andalan Bangkalan, Agus Bindara Suhaimi dan Risma Ismayati, sukses menorehkan prestasi berskala internasional. Keduanya yang berlaga di katagori tunggal putra dan putrid, berhasil meraih medali emas dalam kejuaraan dunia pencak silat golongan remaja tahun 2011 di Hanoi, Vietnam. Pada tahun yang sama, pesilat Bambang Priwahyudi, juga meraih prestasi spektakuler. Atlet asal Perguruan Poras Jokotole itu sukses mempersembahkan medali emas Sea Games/2011 di Kuala Lumpur, berikut kejuaraan Asia Pasific di Penang, keduanya di Malaysia.
Berikutnya, menjelang PON XVI/2014 di Palembang, pasilat Akbar Atatullah Khomaini dari Perguruan PSN Perisai Putih Bangkalan, masih sempat menembus kejuaraan Pra PON di Samarinda, Kalimantan Timur, setelah sebelumnya manyabet medali emas dalam Kejurda Pra PON XVI di Banyuwangi.
Setelah itu, prestasi atlet pencak silat asal Bangkalan, tak pernah lagi berkemampuan menembus event berskala nasional, apa lagi internasional. Dalam event berskala regional Porprov I,II,III dan Porprov ke IV di Kota Madiun tahun 2013 lalu, atlet pencak silat Bangkalan hanya mampu mempersembahkan 2 keping medali emas, 4 perak dan 3 perunggu.
Terakhir, untuk event pelajar setingkat Popda Jawa Timur di Gresik 23 s/d 28 September 2014 lalu, atlet pencak silat bangkalan hanya mampu meraih 2 emas dan 1 perunggu. Prestasi ini jauh berada di bawah prestasi Kota Surabaya dengan koleksi 6 medali emas, Kota Blitar 4 medali emas, berikut Kabupaten Nganjuk dengan torehan 3 medali emas.
Lalu bagaimana dengan kiprah cabang olah raga lainnya ? Jangankan untuk event berskala internasional, untuk event di tingkat regional saja, tidak satupun dari mereka yang mampu mengikuti jejak prestasi emas para atlet pencak silat. Setiap kali dikirim dan berlaga di event setingkat Popda, O2SN, dan event Porprov I,II,III dan Porprov IV, para atlet bola voli, bulutangkis, basket, tenis meja, atletik tinju amatir, catur, renang, balap sepeda, panjat tebing dan beberapa atlet cabor lainnya, selalu tergusur di babak penyisihan, sekaligus pulang kandang tanpa kalungan medali apapun.
Prestasi terbaik di luar cabor pencak silat, hanya mampu ditorehkan atlet sepak takraw, setelah berhasil meraih medali perunggu di event Porprov IV/2013 di Madiun. Medali perak Popda/2012 lalu, juga sempat dibukan oleh atlet tenis meja Aisyah Fara Amini. Itupun tidak terlau membanggakan, lantaran Aisyah bukan hasil polesan PTMSI Bangkalan, melainkan hasil binaan club tenis meja CSIS Surabaya.
Kesimpulannya, kadar prestasi olahraga Kabupaten Bangkalan dalam 15 tahun terakhir ini, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, terasa berjalan di tempat, alais tidak menunjukkan peningkatan apapun. Bahkan, kalaum kita mau jujur, malah mengalami stagnasi kualitas, setelah dalam beberapa tahyun terakhir ini tiorehan prestasi atlet pencak silat Bangkalan tak mampu lagi mengoleksi prestasi emas dalam berbagai event tingkat nasional maupun internasional.
Lalu siapa yang salah ? Tak usah mencari kambing hitam. Akan lebih arief dan bijak jika Pengkab KONI secara jujur mengakui realita minor itu, kemudian berupaya mencari latar penyebab terjadinya stagnasi kualitas prestasi berkepanjangan itu. Hal serupa, juga harus dilakukan oleh semua induk organisasi olahraga di bawah naungkan KONI, seperti PSSI, IPSI, PBVSI, PBSI, PTMSI, PERBASI, PASI, PERCASI, PRSI, ISSI, PSTI, PERTINA, FPTI dan sederet cabor lainnya.
Barangkali, satu hal perlu disadari oleh semua insan olahraga di Kabupaten Bangkalan, bahwa merosotnya prestasi olahraga di kawasan gerbang jembatan Suramadu sisi Madura itu, berakar pada beberapa latar penyebab. Diantaranya, figur personal kepengurusan diberbagai induk organisasi olahraga yang ada, jujur saja, sebagian besar tidak dihuni oleh para tokoh olahraga yang profesional.
Artinya, sebaran personal kepengurusan di masing-masing induk organisasi olahraga yang ada, cenderung asal comot saja. Dampaknya, akumulasi pembinaan, pembibitan dan rutinitas pelatihan atlet di masing-masing cabor, cederung tersendat dan berjalan ala kadarnya.
Realita ini, diakui atau tidak, jelas berimbas negatif pada kadar kualitas sistem pembinaan dan pelatihan atlet di cabor manapun. Terbukti, gara-gara tidak dikelola oleh personal kepengurusan yang profesional, tidak satupun induk organisasi olahraga di bawah naungan KONI yang mampu mengembangkan metodologi pembinaan dan pelatihan olahraga yang berbasis IPTEK. Metodologi pelatihan atlet yang dikembangkan oleh masing-masing cabor selama ini, tak lebih dari menu latihan berbasis konvensional, alias pelatihan secara asal-asalan, dan tidak didasarkan pada skala program yang jelas,terarah, terukur, serta bermuara pada sasaran target prestasi tertentu.
Penerapan metodologi pembinaan dan pelatihan atlet ala kadarnya seperti itu, sungguh berbeda jauh dibanding apa yang telah diterapkan oleh Kabupaten dan Kota lainnya di Jawa Timur. Sebab, seperti Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Banyuwangi, Jember, Gresik, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Bojonegoro, Tulungagung, Lamongan dan beberapa kabupaten lainnya, sudah lama meninglkan pola pembinaan berbasis konvensional, sekaligus mengganti dengan sistem pembinaan, pembibitan, serta program pelatihan dengan metodologi berbasis IPTEK olahraga.
Itu sebabnya, ke depan, alangkah baiknya jika Pengkab KONI Bangkalan, mulai berinisiatif untuk merubah sistem pembinaan, pembibitan dan pelatihan bagi atlet dari semua cabang olahraga yang ada, dari metodologi konvensional (tradisional) menuju metotologi pembinaan, pembibitan dan pelatihan berbasis IPTEK.
Caranya, sebenarnya mudah saja. Undang pakar olahraga dari Penprov KONI Jawa Timur atau Unesa Surabaya, untuk menjadi instruktur dalam penataran metotologi pembinaan, pembibitan dan pelatihan berbasis IPTEK kepada semua pengurus dan pelatih di masing-masing cabor di bawah naungan KONI Bangkalan. Hasilnya, silahkan terapkan dalam akumulasi pembinaan, pembibitan dan pelatihan atlet, berdasar skala program yang jelas, terarah, terukur dan menuju sasaran target prestasi tertentu.
Nah, untuk bisa menerapkan akumulasi pembinaan, pembibitan dan pelatihan dengan metodologi berbasis IPTEK untuk semua cabor itu, sudah barang tentu butuh topangan dana yang ideal. Barangkali, harapan inilah yang selama ini belum terpenuhi di Kabupaten Bangkalan. Sebab, bantuan dana APBD untuk pembinaan olahraga di Kabupaten Bangkalan relatif amat kecil. Setiap tahunnya hanya berkisar antara Rp 800 juta s/d Rp 1,5 miluiar saja.
Plavon dana sebesar itu, sungguh amat minim jika dibanding dengan daerah lainnya. Coba saja simak, bantuan dana APBD untuk Pengkot KONI Surabaya untuk tahun anggaran 2014 kali ini dipatok Rp 21 miliar. Sementara Kota Sidoarjo dan Kabupaten Gresik, masing-masing dapat asupan dana APBD sebesar Rp 10 miliar. Dilain pihak, dana pembinaan olahraga untuk Pengkab KONI Pasuruan, Kota Malang, Kediri, Jember, Banyuwangi, Blitar, Madiun dan bahkan Kabupaten Magetan, rata-rata berkisar antara Rp 5 s/d Rp 7,6 miliar. Jadi, mereka lebih leluasa untuk bergerak dalam rutinitas pembinaan olahraga, termasuk dalam menerapkan sistem pembinaan, pembibitan dan pelatihan dengan metodologi berbasis IPTEK.
Ujung-ujungnya, bisa kita petik satu kesimpulan substansial di sini. Selama sebagian besar personal kepengurusan Pengkab KONI dan semua induk organisasi olahraga di bawah naungan KONI dihuni oleh tokoh yang tuidajk professional, berikut tetap menerapkan metodologi pembinaan, pembibitan dan pelatihan atlet secara konvensional (tradisional), sementara di sisi loain asupan dana pembinaan olahraga dari APBD masih amat minim, jangan harap kadar kualitas prestasi dunia olahraga di Kabupaten Bangkalan, bakal bisa bangkit dari keterpurukan. Jadi selama tidak ada perubahan yang menyentuh tiga komponen dasar itu, yakni kepengurusan yang professional, penerapan metodologi berbasis IPTEK, serta asupan dana yang ideal, maka jangan salahkan siapa-siapa jika setiap kali dikirim berlaga dalam sevent berskala regional sekaliber Popda, O2SN dan Porprov Jawa Timur, sebagian besar rombongan atlet Kabupaten Bangkalan, selalu pulang kandang tanpa kalungan secuil medalipun.*******
Catatan :
Penulis adalah pengamat olahraga, analis tinju profesional dan Wasit-Juri Internasional cabor pencak silat.