Melacak Politik Minyak dan Rumusan Kapling 3-M di Dunia
Agaknya Politik Minyak Sejagat yang diterapkan Amerika Serikat (AS)
sebagaimana buku “Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai
Belahan Dunia (2010)”-nya Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future
Institute (GFI), Jakarta memiliki sejarah cukup panjang. Intinya geliat
apapun dari Paman Sam rujukannya selalu minyak, minyak dan minyak. Ada
ungkapan Guildford (1973) yang menarik, bahwa bila berbicara masalah
dunia perminyakan maka nuansa politiknya sebesar 90% sedang sisa 10%
berbicara tentang minyak itu sendiri. Artinya, jika dibolehkan menafsir
ungkapan Guildford tadi bahwa data dan informasi terkait hal-hal teknis
perminyakan kemungkinan ditemui banyak dark number (penggelapan data)
sesuai keinginan dan kepentingan politik di atasnya. Istilahnya onani
---menyenangkan diri sendiri--- sebab riilnya tidaklah demikian. Entah
kenapa.
Konflik = Rebutan Minyak atau Tambang Lain?
Adalah Georges Clemencau, komandan pasukannya Napoleon Bonapate dalam Perang Dunia /PD I (1914-1918) menyatakan, "Setetes minyak berharga sama seperti setetes darah dari prajurit kita. Minyak sama-sama diperlukan seperti darah". Luar biasa. Sejujurnya PD I masih dibilang zaman “rempah-rempah” sebagai komoditas unggulan sekaligus obyek kolonialisme, belum
menginjak era minyak seperti saat ini. Wajarlah jika posisinya kini
sangat strategis, sedang doeloe saja telah disebut tingkat urgensinya.
Tak heran berbagai negara, terutama negara industri maju dari Barat
berlomba ingin menguasai komoditas ini di banyak belahan dunia.
Dirgo D. Purbo, pakar perminyakan Indonesia memberi sinyal, bahwa di
balik pertempuran-pertempuran besar, di belakang sengketa antar negara,
di balik rebutan kekuasaan dan kudeta, di balik dukungan diam-diam
kepada tentara pemberontak, serta di latar penyerbuan terang-terangan
negara adidaya, ternyata MINYAK salah satu faktor penting dan penentu
yang dapat mengubah wajah dunia.
Menurut hemat penulis, uraian Dirgo tadi merupakan kata kunci. Mutlak
digarisbawahi bahkan kalau perlu dijadikan prodedur tetap (protap) dan
titik tolak bagi institusi keamanan dan pertahanan dalam menganalis
setiap konflik yang telah, sedang dan akan terjadi baik pada tingkatan
lokal terlebih lagi di tataran global. Ya. Konflik lokal ialah bagian
dari konflik global. Konflik Sudan misalnya, bagian pertentangan
kepentingan para adidaya dunia terkait tambang (minyak). Juga konflik di
Haiti, Kongo, Libya. Demikian juga konflik di Papua, di Mesuji, Sampang
dan lainnya.
Demikianlah, begitu kentalnya aspek minyak dalam perpolitikan baik
tataran (konflik) lokal, ketegangan regional maupun konflik global. Nah,
tulisan tidak ilmiah ini mencoba menguak sedikit akar konflik dari sisi
geopolitik dan geostrategi, dengan komoditas minyak sebagai titik
tolak. Inilah ulasan sederhananya dari berbagai sumber.
Buku berjudul The Geopolitics of Superpower-nya Colin S. Gray mengawali
kajian “kapling-kapling dunia” berbasis geostrategi dalam politik
global. Bermula abad ke 19 muncul Sir Halford Mackinder dari Inggris
yang mengklasifikasikan dunia menjadi empat kawasan. Kawasan pertama
Heartland atau World Island: mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah
(World Island); kawasan kedua disebut Marginal Lands: mencakup kawasan
Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian besar
daratan Cina; kawasan ketiga dinamai Desert adalah wilayah Afrika Utara,
dan kawasan terakhir adalah Island or Outer Continents: meliputi Benua
Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.
Di awal tesisnya, Mackinder sudah mengatakan bahwa siapa negara
menguasai Heartland (Timur Tengah dan Asia Tengah) yang memiliki
kandungan sumberdaya alam dan aneka ragam mineral, maka bakal menuju
arah “Global Imperium”. Masih di buku yang sama, teori Nicholas Spyman,
ilmuwan geopolitik AS berbeda asumsi dengan Mackinder tetapi ada
kesamaan soal penguasaan wilayah Heartland. Ia mengatakan: "Who rules
the World Island commands the World". Memang teori Spyman berbeda pada
proses namun ujungnya tetap merujuk ke Timur Tengah dan Asia Tengah.
Benang merahnya sama atau sebangun.
Tampaknya uraian kedua pakar di atas, pada era 1920-an dipakai Karl
Haushofer, profesor geografi Universitas Munich sebagai policy advice
kepada Adolf Hitler. Ia menjelaskan bahwa tesis tersebut bisa dijadikan
gagasan bagi Jerman untuk mendominasi Rusia melalui kawasan Heartland.
Begitu besarnya buah pikir Mackinder bagi Jerman, karena dijadikan
rujukan pokok dalam saran Haushofer kepada Hitler. Lalu ia pun dipercaya
memimpin German Academy (1934 -1937). Akan tetapi sungguh ironis,
ketika tesis Mackinder justru dianggap “biang keladi” atas konstalasi
politik dunia terutama mempengaruhi Nazi Jerman. Memberikan semacam
acuan untuk memahami hubungan kontemporer antara Amerika dan Soviet
pasca PD II. Maka lahirlah Perang Dingin doeloe bahkan hingga kini
semenjak minyak menjadi satu-satunya komoditas strategis bagi kehidupan
serta semakin sulit ditemukan cadangannya di wilayah negeri-negeri
konsumen.