Merajut Asa Dengan Barang Sisa
Kamis, 4 April 2013 21:38:18 - oleh : admin

Merajut Asa Dengan Barang Sisa

BANGKALAN-Wajahnya masih polos, tersimpan sejuta cita-cita dari ucapnya. Pakaian lusuh dengan badan yang kotor, jelas sekali terlihat dari tubuh mereka. Mereka menjejerkan karung yang telah terisi penuh dengan bekas sampah makanan dan botol minuman. Kepala yang tertutup kerudung untuk menghindari sengat matahari, kulit tubuh mereka hitam bagaikan arang.

Rohimah, Hatima dan Azisah tiga gadis kecil yang berprofesi sebagai pemulung. Masa depan mereka seakan terancam. Sebab, mereka sudah tak lagi mengenyam pendidikan saat teman seusianya asyik menikmati pelajaran sekolah.

Saat usianya seharusnya diisi dengan senda-gurau teman sejawatnya, mereka rela membuangnya demi secarik kardus bekas yang tak terpakai. Kesehariannya, mereka isi dengan mencari setumpuk botol dan kaleng bekas untuk membantu ekonomi keluarganya.

Bukannya tak mau sekolah, justru mereka sangat ingin menikmati suasana sekolah. Bermain dan bercanda dengan teman-temannya. Mereka bekerja, karena keterpaksaan untuk mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Walaupun keinginan mereka sama dengan anak lain seusianya.

"Saya mau sekolah, tapi orang tua kami tidak sanggup untuk menyekolahkan," ucap Hatima dengan nada polos.

Dari gaya bahasanya, mereka bisa dikatakan cerdas, karena dapat menangkap pembicaraan dengan baik. Berinteraksi tanpa ragu, mencirikan anak yang mempunyai intelegensia tinggi.

Meski demikian, nasib tak berpihak pada mereka. Padahal, pendidikan wajib 9 tahun masih berlaku. Entah orang tuanya tak mengerti tentang pentingnya menyekolahkan anak, atau memang ekonomi lebih penting dibanding pendidikan. Yang jelas, program pemerintah cukup serius menangani anak putus sekolah. Meskipun kenyataannya masih ada anak belia yang sudah tidak sekolah sama sekali.

Dari perolehan kardus dan barang bekas lainnya, mereka kumpulkan untuk dijual kepada pengepul dengan harga yang murah. Walaupun butuh waktu seharian untuk mencari barang bekas, harga tersebut tak sepadan dengan apa yang mereka lakukan.

"Saya jual kardus bekas ini seharga seribu per kilo, biasanya per hari kami akan pulang setelah mendapatkan satu karung bareang bekas," ungkapnya.

Sementara itu, mereka mengaku bukan penduduk asli Bangkalan. Mereka hanya tinggal di Bangkalan bersama kedua orang tua, yang pekerjaannya serabutan. Oleh karena itu, mereka kesulitan untuk bersekolah, karena kedua orang tuanya belum mempunyai kartu penduduk.

Walaupun demikian, potret kecil senyuman ketiga belia ini, tak sepantasnya dijual dengan mengabaikan pendidikan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan masa depan mereka.(mad)

 

| More

Berita "Pendidikan" Lainnya