Suporter Madura: KLB PSSI Ajang Berbenah
Minggu, 17 Maret 2013 09:10:03 - oleh : Tim Redaksi

Suporter Madura: KLB PSSI Ajang Berbenah

MADURA-Pada Piala Eropa 2000, Jerman tersingkir di fase grup sebagai juru kunci dengan rekor tak pernah menang. Setelah bermain imbang 1-1 dengan Romania, Jerman dikalahkan Inggris 0-1 dan dibungkam Portugal 0-3.

Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) berbenah. Bukan sekadar melempar kesalahan kepada pelatih dengan memecatnya dan mengangkat pengganti, tetap "mengaku salah" dengan mengubah kebijakan, terutama pembinaan pemain muda.

"Bundesliga dan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) membuat keputusan yang benar sepuluh tahun lalu (2002), yaitu untuk mendapatkan lisensi untuk ikut berkompetisi, Anda harus mengelola sebuah akademi. Klub Bundesliga 1 dan Bundesliga 2 menghabiskan 75 juta euro per tahun untuk mengelola akademi-akademi itu. Di Jerman, akademi-akademi kami harus memiliki dalam setiap kelompok umur 12 orang yang bisa bermain untuk Jerman," ujar Ketua Eksekutif Liga Jerman (DFL), Christian Seifert.

Kebijakan itu bisa efektif karena didukung kebijakan finansial. Sekitar 50 persen dari pendapatan klub digunkana untuk gaji pemain. Dengan kewajiban menyisihkan pendapatan untuk membina pemain muda dan anggaran belanja pemain sebesar itu, klub lebih serius menggunakan jasa pemain muda, meski tentu saja, hasilnya tak bisa dilihat dalam satu dua musim.

Sistem pembinaan itu mulai menunjukkan buahnya pada Piala Dunia 2010. Saat itu, dari 23 pemain, 19 orang merupakan pemain binaan klub Bundesliga 1 dan empat lainnya hasil binaan klub Bundesliga 2. Jerman mengakhiri turnamen itu sebagai second runner-up, setelah mengalahkan Uruguay 3-2.

Pada Piala Eropa 2012. Dengan sejumlah pemain berusia maksimal 23 tahun, Jerman melaju sampai semifinal. Pemain-pemain itu misalnya Mario Goetze (kini 20 tahun), Marco Reus (23), Toni Kroos (23), Mats Hummels (24), dan Thomas Mueller (23).

Kebijakan finansial juga menentukan klub Bundesliga 1 dan Bundesliga 2 yang tidak mampu membiayai kegiatan tim akan diturunkan ke level kompetisi lebih rendah, karena klub profesional pertama-tama tidak bicara soal prestasi, melainkan kemampuan untuk menjadi mesin penghasil dan pemutar uang yang bisa menghidupi karyawan-karyawannya, termasuk pemain.

Meski uang merupakan hal vital, klub Bundesliga 1 dan Bundesliga 2 tak lantas "mata duitan". Setidaknya itu tampak dari kebijakan kepemilikan klub, yaitu yaitu 51 persen saham harus dimiliki suporter, melalui program keanggotaan klub. Dengan begitu, tak ada investor tunggal atau dominan yang menguasai klub.

Vfl Wolfsburg dan Bayer 04 Leverkusen menjadi pengecualian. Pada dua klub tersebut, saham terbesar dimilik Volkswagen yang bermarkas di Wolfsburg dan dan Bayer Pharmaceuticals yang bermarkas di Leverkusen. Dengan kata lain, kedua klub itu masih dimiliki entitas yang berasal dari komunitas yang sama.

"Bayer Leverkusen dan Wolfsburg adalah pengecualian. Jika sebuah perusahaan mendukung kegiatan sepak bola di sebuah klub selama 20 tahun lebih, mereka diizinkan membeli saham sehingga menjadi pemegang saham mayoritas," jelas Seifert.

Klub-klub Bundesliga hidup dari tiket, sponsorship, dan hak siar televisi, bukan uang investor kaya seperti Chelsea dan Manchester City. Dengan kebijakan itu, Bundesliga menjaga nasionalismenya, karena pemain, suporter, dan "pemilik klub" adalah orang Jerman.

Bundesliga mungkin atau memang tak sepopuler Premier League, Liga BBVA, dan Serie-A. Namun, jika sudah bisa menciptakan kompetisi sehat yang berkontribusi untuk timnas dan memuaskan rakyat sendiri, pengakuan dari luar bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Keberhasilan Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund masuk perempat final Liga Champions dengan sendirinya bicara soal perkembangan daya saing klub Bundesliga.

Sepak bola Jerman butuh waktu lebih dari 12 tahun untuk menjadi seperti sekarang dan mereka masih terus berproses. Dengan begitu, Indonesia tak bisa berharap Kongres Luar Biasa yang akan digelar Minggu (17/3/2013) akan langsung menyelesaikan berbagai masalah dan memberikan prestasi.

Namun, PSSI dan KPSI harusnya mengikuti KLB dengan niat berdamai dan sudah punya konsep dan rencana untuk sepak bola Indonesia, bukan sekadar menghindari sanksi FIFA, mengingat agenda KLB besok sudah jelas, yaitu pengembalian empat anggota Eksekutif Komite yang dipecat, revisi statuta, penyatuan liga sepak bola profesional, dan peserta KLB adalah peserta Kongres Solo 2011.

Semua agenda itu mengakomodasi kepentingan pihak bertikai. Akan menjadi konyol, jika pihak bertikai hanya menghadiri KLB hanya untuk bersalaman. Mereka harus datang untuk bersama-sama menjawab dan mengakomodasi kepentingan dan harapan rakyat Indonesia dalam arti seluas-luasnya, bukan masyarakat yang selama ini menghamba kepada mereka.

Prestasi Internasional, setidaknya di kawasan Asia, bukanlah harapan utopia. Sejarah menunjukkan bahwa anak-anak bangsa ini punya kemampuan yang disegani lawan, jika sekarang kita tidak bisa berbuat banyak, meski sudah diperkuat pemain naturalisasi, itu karena Indonesia tak berproses. Jadi, memecat Nil Maizar dan "diam-diam" mengangkat Luis Manuel Blanco bukan solusi.

Jika PSSI serius memperbaiki sepak bola Indonesia dan membangun sepak bola profesional, mereka harus menetapkan standarisasi klub dan menerapkannya dengan jujur dan tegas.

Klub peserta kompetisi dua kasta teratas harus menyiapkan rencana bisnis dan anggaran, termasuk kontrak pemain, minimal untuk tiga musim kompetisi. Selain menghindari terulangnya insiden Diego Mendieta, syarat ini penting untuk menjamin kontinyuitas kompetisi yang merupakan ajang untuk menemukan dan mengasah bakat pemain.

Klub yang menunggak gaji harus dianggap tidak profesional dan diturunkan ke level amatir, sehebat apa pun sejarah dan nama besar klub itu, karena mereka "mengancam" kelangsungan hidup pemain. Pengelola liga kemudian harus mengambil alih tanggung jawab, dalam hal ini melunasi gaji pemain atau melakukan tindakan lain yang membuat pemain bisa mendapatkan haknya.

Suporter dan klub yang suporternya melakukan pelanggaran hukum harus mendapatkan sanksi berat. Hal ini penting untuk menciptakan pertandingan aman dan nyaman di stadion. Jika pertandingan aman, akan ada semakin banyak penonton datang dan dengan begitu meningkatkan pendapatan dari tiket.

Dengan stadion yang penuh (dengan orang-orang yang membeli tiket), klub punya peluang mendapatkan pemasukan lebih besar dari sponsor dan hak siar. Mengenai kapasitas dan kualitas stadion, klub bisa bekerja sama dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Jadwal pertandingan juga harus dibuat seragam, pada hari Sabtu dan Minggu misalnya. Selain memberi kesempatan kepada semakin banyak orang menonton, juga supaya pemain berada dalam kondisi fisik relatif sama ketika mengikuti latihan bersama tim nasional. Jika selisih waktu antara Indonesia Barat, Tengah, dan Timur menjadi kendala, perlu dipikirkan membagi kompetisi menjadi dua wilayah.

Akan ada keuntungan dan kerugian dari perubahan itu. Namun, jika Tuhan saja kesulitan menggembirakan semua orang dalam waktu yang sama, siapa yang bisa?

Dengan begitu, peserta KLB besok harus datang dengan semangat rela "tidak ikut bermain". Seperti kata Cesc Fabregas, ia gembira tak dimainkan jika itu demi kepentingan yang lebih besar, Barcelona.
Jika peserta KLB datang untuk perut masing-masing, KLB hanya akan menjadi cerita versi lain dari legenda Sisyphus dan pemain sepak bola Indonesia akan selamanya kalah terkenal dan kalah sejahtera dari pengurusnya.
Semoga KLB besok merupakan awal dari cerita versi lain dari Cinderella, yaitu kemenangan pemain dan suporter yang selama ini menderita karena diabaikan "majikan". "KLB PSSI menjadi ajang berbenah bagi insan sepak bola Indonesia", harap Taufik, salah satu pengurus Mabes K-Conk Mania.(mad/bud/kompas.com/berbagai sumber)

 

| More

Berita "Olahraga" Lainnya